Selasa, 14 Desember 2010

PARATUBERCULOSIS

PARATUBERCULOSIS

Johne’s Disease atau Paratuberkulosis adalah penyakit mycobacterial pada sapi yang disebabkan oleh Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis
(MAP), ditandai dengan manifestasi peradangan usus (enteritis granulomatosa). Gejala klinik pada stadium akhir berupa diare kronik dan kehilangan berat badan. Gejala tersebut baru muncul setelah sapi berumur dua sampai 10 tahun, meskipun infeksinya terjadi sejak anak sapi dilahirkan (nepnatal). Penularannya pada anak sapi umumnya melalui kotoran (feses) hewan sakit yang mengandung bakteri yang menempel pada puting susu induk atau melalui pakan yang terkontaminasi feses yang mengandung MAP. Bakteri diekskresikan lewat kolostrum dan susu, sehingga dapat menginfeksi anak sapi sejak periode neonatal.
Selain menyerang sapi, JD juga menyerang ruminansia lain, seperti; kerbau, kambing, domba, bison, antelop dan rusa, jarang pada babi dan kuda. Penyakit ini, pertama kali ditemukan pada sapi perah oleh Dr. Heinrich A. Johne pada tahun 1895, di Jerman. Sehingga dikenal dengan nama ”Johne’s Disease”/ JD yang hingga saat ini penyebarannya sudah meluas di berbagai belahan dunia. Di beberapa negara seperti New Zealand, Australia, Inggris dan negara Mediterranean, penyakit ini dikenal sebagai salah satu penyakit menular penting pada industri peternakan sapi dan domba. Di Afrika, paratuberkulosis dilaporkan di sejumlah negara antara lain Sudan, Ethiopia, Kenya, Uganda, Tanzania, Nigeria, Zambia dan Afrika Selatan. Di USA, penyakit tersebut dapat menimbulkan kerugian ekonomi pada industri peternakan sekitar 1,5 milyar dollar US per tahun.
Gejala spesifik pada sapi berupa kehilangan bobot badan (meskipun nafsu
makannya normal), diare, produksi susu menurun. Hewan dapat terinfeksi sebelum umur enam bulan melalui makanan atau susu yang terkontaminasi MAP. Karena perkembangan penyakitnya yang lambat, maka gejala klinik seringkali tidak teramati sampai umur hewan paling sedikit tiga tahun. Tanda klinik ini muncul, seringkali dipicu oleh adanya stres seperti beranak atau kepadatan ternak yang tinggi, dsb.
Sapi yang sudah menunjukkan gejala klinik dapat menularkan penyakit melalui fesesnya dan sangat berbahaya bagi hewan sekelompoknya. Karena sapi tersebut dapat menghamburkan (shedding) MAP selama 18 bulan sesudah perkembangan gejala kliniknya. Meskipun tidak berkembang biak pada lingkungan, namun MAP dapat hidup dalam tanah dan air selama lebih dari satu tahun, dalam keadaan dingin atau kering. MAP tahan hidup (resisten) dalam kotoran hewan/pupuk kandang dan air pada suhu yang rendah.
Pada sapi dapat mengakibatkan enteritis, peradangan usus kecil yang
mengakibatkan penebalan dan pelipatan dingin usus hewan yang terinfeksi. Diagnosis penyakit didasarkan pada sejarah penyakit, pemeriksaan klinik dan hasil nekropsi yang diperkuat dengan pemeriksaan laboratorik. MAP disebut juga Mycobacterium paratuberculosis atau Mycobacterium johnei adalah bakteri berbentuk batang, tahan asam atau acid fast bacilli (AFB), berukuran kecil (0,5-1,5 mikron) dan membentuk kelompok (3 atau lebih bacilli). MAP dapat menyebabkan infeksi melalui usus pada hewan neonatal atau hewan muda dengan masa inkubasi lama. Anak sapi dapat tertelan melalui puting susu atau pakan yang tercemar kotoran induk yang terinfeksi MAP.
Pada kejadian infeksi yang menahun (kronis), bagian distal usus kecil (ileum)
merupakan tempat bersarangnya bakteri MAP, dengan demikian pada bagian usus ini terdapat bakteri yang kepadatannya paling tinggi. Lokasi sekunder bersarangnya MAP adalah Iimfoglandula menseterika, sedangkan sebagai lokasi tersier adalah hati, limpa dan Iimfoglandula lainnya. Secara persisten MAP menetap pada ileum dan Iimfoglandula menseterika hingga berbulan-bulan, meskipun belum atau sedikit mengeluarkan mycobacteria dalam fesesnya dan selama sembilan bulan pertama infeksi, respon antibodi humoral belum dapat dideteksi.
Ileum merupakan target utama MAP, karena pada dinding usus ileum terkandung Peyer’s patches yang cocok untuk perkembangbiakannya. Meskipun infeksi MAP terjadi pada periode neonatal (0-4 bulan), namun gejala klinik JD pada sapi biasanya muncul setelah hewan berumur lebih dua tahun. Pada awal infeksi tidak menunjukkan gajala klinik sakit (subklinis). Beberapa peneliti melaporkan bahwa, lebih dari 90% hewan yang terinfeksi oleh MAP menampakkan diri sepertinya sehat, namun berpotensi menyebarkan MAP melalui fesesnya dan dapat menularkan MAP ke ruminansia lain dalam kelompoknya. Gejala klinik biasanya terjadi segera setelah hewan melahirkan anak pertama atau kedua. Anak sapi atau sapi muda lebih peka terhadap infeksi MAP dibanding dengan sapi dewasa.
Berdasarkan tingkat gejala klinik JD terdapat empat stadia, yakni:
• Stadium I, tipe ”silent”, sub-klinik infeksi tidak dapat terdeteksi, meskipun hewan sudah terinfeksi MAP (dalam dosis kecil) dan terjadi pada anak sapi dan sapi dara.
• Stadium II, tipe penyebaran subklinik (sub-clinical shedders), terjadi pada sapi dara yang lebih tua atau sapi dewasa. Hewan tampak sehat, tetapi sebenarnya mereka adalah karier yang sewaktu-waktu dapat menularkan atau menyebarkan banyak MAP pada kotorannya yang dapat dideteksi melalui kulturdari fesesnya. Terjadi pencemaran lingkungan dengan bakteri MAP.
• Stadium III, sapi memperlihatkan gejala klinik berupa diare encer (seperti cairan) yang akut atau intermittent dan kotorannya berbau busuk, penurunan berat badan dan produksi susu. Dengan uji serologi, positip mengandung antibodi terhadap paratuberkulosis. Munculnya gejala klinik biasanya dipicu oleh adanya stres.
• Stadium IV, merupakan stadium akhir paratuberkulosis, hewan menjadi sangat kurus (emasiasio) dengan diare cair dan terlihat adanya edema pada rahang bawah (bottlejaw) dan dapat berakibat fatal.
Di Indonesia, JD dilaporkan terjadi di Jawa Barat (2004) dengan seroprevalensi rendah 1,67% (3/180) dan secara kultur feses 0,55% (1/180) (ADJI, 2004). Sebelumnya (1985/1986) juga terjadi pada sapi dan kerbau di Sumatera Utara, didasarkan pada hasil pemeriksaan serologik (Complement Test/CFT) yang mengandung antibodi paratuberkulosis 4% (2/50) (SETYOWATI et al, 1985/1986).
Dari aspek (kesmavet), penyakit ini juga penting, karena dapat menularkan patogen melalui produk ternak seperti susu. JD dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan masyarakat, yaitu penyakit Crohn (Crohn’s disease/CD) pada manusia. Meskipun penyebab CD belum diketahui secara pasti dan masih diperdebatkan oleh para pakar, namun diduga berkaitan dengan JD/paratuberkulosis pada ternak ruminansia. Crohn’s disease adalah penyakit peradangan kronik pada usus (ileum dan kolon), biasanya terjadi pada orang yang berusia 10-20 tahun.

Tidak ada komentar: